Jumat, 16 Januari 2015

Makna Dan Nilai Kehidupan Menurut Budhisme

Makna Dan Nilai Kehidupan Menurut Buddhisme
http://artikelbuddhist.com/wp-content/uploads/2011/05/buddha-1.jpg
I. Agama

Kata agama berasal dari kata dalam bahasa Pali atau bisa juga dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata gacc, yang artinya adalah pergi ke, menuju, atau datang, kepada suatu tujuan, yang dalam hal ini yaitu untuk menemukan suatu kebenaran.
Adapun penjelasan maknanya di antaranya sebagai berikut:
1.        Dari kehidupan tanpa arah, tanpa pedoman, kita datang mencari pegangan hidup yang benar, untuk menuju kehidupan yang sejahtera dan kebahagiaan yang tertinggi.

2. Dari biasa melakukan perbuatan rendah di masa lalu, kita beralih menuju hakekat ketuhanan, yaitu melakukan perbuatan benar yang sesuai dengan hakekat ketuhanan tersebut, sehingga kita bisa hidup sejahtera dan bahagia.

3. Dari kehidupan tanpa mengetahui hukum kesunyataan (hukum kebenaran mutlak), dari kegelapan batin, kita berusaha menemukan sampai mendapat atau sampai mengetahui dan mengerti suatu hukum kebenaran yang belum kita ketahui, yaitu hukum kesunyataan yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata agama mempunyai arti tidak kacau. Bila memang dapat diartikan demikian, maka kata agama ini, bisa mempunyai makna yaitu menjalankan suatu peraturan kemoralan, untuk menghindari kekacauan dalam hidup ini, yang tujuannya adalah guna mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa timbulnya agama di dunia ini adalah untuk menghindari terjadinya kekacauan, pandangan hidup yang salah, dsb, yang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda; guna mendapatkan suatu kehidupan yang sejahtera dan kebahagiaan tertinggi.
Memang, setiap orang di dunia ini pasti menginginkan adanya kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya. Inilah alasan mengapa orang mau mencari jalan yang benar, yang dapat membawa mereka kepada suatu tujuan, yaitu suatu kebahagiaan mutlak terbebas dari semua bentuk penderitaan. Semua agama di dunia ini muncul karena adanya alasan ini.

II. Agama Buddha (Buddha Dhamma)

Agama Buddha biasanya lebih dikenal dengan sebutan Buddha Dhamma. Seluruh ajaran Sang Buddha merupakan ajaran yang membahas tentang hukum kebenaran mutlak, yang disebut Dhamma.
Dhamma adalah kata dalam bahasa Pali. Dhamma artinya kesunyataan mutlak, kebenaran mutlak atau hukum abadi. Dhamma tidak hanya terdapat di dalam hati sanubari atau di dalam pikiran manusia saja, tetapi juga terdapat di seluruh alam semesta.
Seluruh alam semesta juga merupakan Dhamma. Jika bulan timbul atau tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah, dan sebagainya, hal ini tidak lain juga merupakan Dhamma;
juga yang membuat segala sesuatu bergerak, yaitu sebagai yang dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya, adalah juga merupakan Dhamma.
Dhamma merupakan hukum abadi yang meliputi seluruh alam semesta; tetapi Dhamma seperti yang baru dijelaskan ini, adalah merupakan Dhamma yang berkondisi atau kebenaran mutlak dari segala sesuatu yang berkondisi; sedangkan selain itu, Dhamma adalah juga merupakan kebenaran mutlak
dari yang tidak berkondisi, yang tidak bisa dijabarkan secara kata-kata, yang merupakan tujuan akhir kita semua.
Jadi sifat Dhamma adalah mutlak, abadi, tidak bisa di-tawar-tawar lagi. Ada Buddha atau tidak ada Buddha, hukum abadi (Dhamma) ini akan tetap ada sepanjang zaman.
Di dalam Dhammaniyama sutta, Sang Buddha bersabda demikian:

“O, para bhikkhu, apakah para Tathagatha muncul di dunia atau tidak, terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu (Dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu. …”.

Buddha, adalah merupakan suatu sebutan atau gelar dari suatu keadaan batin yang sempurna. Buddha bukanlah nama diri yg dimiliki oleh seseorang, Buddha berarti yang sadar, yang telah mencapai penerangan sempurna, atau yang telah merealisasi kebebasan agung dengan kekuatan sendiri.
Dengan demikian, Buddha Dhamma adalah Dhamma yang telah direalisasi dan kemudian dibabarkan oleh Buddha (yang sekarang ini bernama Gotama); atau dapat juga dikatakan agama yang pada hakekatnya mengajarkan hukum-hukum abadi, pelajaran tata susila yang mulia, ajaran yang mengandung paham filsafat mendalam, yang semuanya secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan.
Buddha Dhamma memberikan kepada penganutnya suatu pandangan tentang hukum abadi, yaitu hukum alam semesta yang berkondisi dan yang tidak berkondisi.
Hal tersebut semuanya juga berarti menunjukkan bahwa selain ada kehidupan keduniaan yang fana ini, yang masih berkondisi, atau yang masih belum terbebas dari bentuk-bentuk penderitaan; ada pula suatu kehidupan yang lebih tinggi, yang membangun kekuatan-kekuatan batin yang baik dan benar, untuk diarahkan pada tujuan luhur dan suci.
Dengan mengerti tentang hukum kebenaran ini, atau dapat pula dikatakan, bila manusia sudah berada di dalam Dhamma, maka ia akan dapat membebaskan dirinya dari semua bentuk penderitaan atau akan dapat merealisasi Nibbana, yang merupakan terhentinya semua derita. Tetapi, Nibbana, yang merupakan terhentinya semua derita tersebut, tidak dapat direalisasi hanya dengan cara sembahyang, mengadakan upacara atau memohon kepada para dewa saja, terhentinya derita tersebut hanya dapat direalisasi dengan meningkatkan perkembangan batin.
Perkembangan batin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan, mengendalikan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan, sehingga dapat mengikis semua kekotoran batin, dan tercapailah tujuan akhir.
Sehingga dalam hal membebaskan diri dari semua bentuk penderitaan, untuk mencapai kebahagiaan yg mutlak, maka kita sendirilah yang harus berusaha.
Di dalam Dhammapada ayat 276, Sang Buddha sendiri bersabda demikian :

“Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan jalan.”

III.Tujuan Hidup Umat Buddha

Setelah kita dapat mengerti atau memahami apa arti Buddha Dhamma, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, maka kita sudah dapat mengetahui bahwa tujuan hidup umat Buddha adalah tercapainya suatu kebahagiaan, baik kebahagiaan yang masih bersifat keduniawian
(yang masih berkondisi) yang hanya bisa menjadi tujuan sementara saja; maupun kebahagiaan yang sudah bersifat mengatasi keduniaan (yang sudah tidak berkondisi) yang memang merupakan tujuan akhir, dan merupakan sasaran utama dalam belajar Buddha Dhamma.
Banyak orang yang masih memiliki salah pengertian mengatakan bahwa,Agama Buddha (Buddha Dhamma) hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi saja, dengan mengabaikan kesejahteraan kehidupan duniawi
dari umat manusia. Padahal, Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan kebahagiaan yang masih berkondisi.
Memang, walaupun kesejahteraan kehidupan duniawi bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi hal itu bisa juga merupakan salah satu kondisi (sarana / syarat) untuk tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang tidak berkondisi,
yaitu terealisasinya Nibbana.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan duniawi adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir yang mengatasi keduniaan.
Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbana, bukanlah kesuksesan atau kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan keterikatan batin kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk terealisasinya Nibbana.
Di dalam Vyagghapajja sutta, seorang yang bernama Dighajanu, salah seorang suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, lalu ia duduk di samping beliau dan
kemudian berkata:

“Bhante, kami adalah upasaka yang masih menyenangi kehidupan duniawi, hidup berkeluarga, mempunyai isteri dan anak. Kepada mereka yang seperti kami ini, Bhante, ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan sekarang ini,
dan juga kebahagiaan yang akan datang.”

Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna yang akan dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, yaitu:

1.  Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam mengerjakan apa saja, harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan benar terhadap pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.
2.  Arakkhasampada: ia harus pandai menjaga penghasilannya, yang diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih payahnya sendiri.
3.  Kalyanamitta: mencari pergaulan yang baik, memiliki sahabat yang baik, yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya ke jalan yang benar, yaitu yang jauh dari kejahatan.
4.  Samajivikata: harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit / kikir.

Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, sedangkan untuk dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan yang akan datang, yaitu kebahagiaan dapat terlahir di alam-alam yang
menyenangkan dan kebahagiaan terbebas dari yang berkondisi, ada empat persyaratan pula yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

1.        Saddhasampada: harus mempunyai keyakinan, yaitu keyakinan terhadap nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan pengertian, sehingga dengan demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan mempraktikkan apa yang dia yakini tersebut.
Di dalam Samyutta Nikaya V, Sang Buddha menyatakan demikian:
“Seseorang … yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian.”
Saddha (keyakinan) sangat penting untuk membantu seseorang dalam melaksanakan ajaran dari apa yang dihayatinya; juga berdasarkan keyakinan ini, maka tekadnya akan muncul dan berkembang.
Kekuatan tekad tersebut akan mengembangkan semangat dan usaha untuk mencapai tujuan.

2.        Silasampada: harus melaksanakan latihan kemoralan, yaitu menghindari perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang tidak benar, dan menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (hilangnya pengendalian diri).
Sila bukan merupakan suatu peraturan larangan, tetapi merupakan ajaran kemoralan yang bertujuan agar umat Buddha menyadari adanya akibat baik dari hasil pelaksanaannya, dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Dengan demikian, berarti dalam hal ini, seseorang bertanggung jawab penuh terhadap setiap perbuatannya.
Pelaksanaan sila berhubungan erat dengan melatih perbuatan melalui ucapan dan badan jasmani. Sila ini dapat diintisarikan menjadi ‘hiri’ (malu berbuat jahat / salah) dan ‘ottappa’ (takut akan akibat
perbuatan jahat / salah).
Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan & meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.

3.        Cagasampada: murah hati, memiliki sifat kedermawanan, kasih sayang, yang dinyatakan dalam bentuk menolong mahluk lain, tanpa ada perasaan bermusuhan atau iri hati, dengan tujuan agar mahluk lain dapat hidup tenang, damai, dan bahagia.
Untuk mengembangkan caga dalam batin, seseorang harus sering melatih mengembangkan kasih sayang dengan menyatakan dalam batinnya (merenungkan) sebagai berikut:
“Semoga semua mahluk berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, kesakitan, dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.”

4.        Panna: harus melatih mengembangkan kebijaksanaan, yang akan membawa ke arah terhentinya dukkha (Nibbana).
Kebijaksanaan di sini artinya dapat memahami timbul dan padamnya segala sesuatu yang berkondisi; atau pandangan terang yang bersih dan benar terhadap segala sesuatu yang berkondisi, yang membawa ke arah terhentinya penderitaan.

Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori, tetapi yang paling penting adalah dari pengalaman dan penghayatan ajaran Buddha.
Panna berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Singkatnya ia mengetahui dan mengerti tentang: masalah yang dihadapi, timbulnya penyebab masalah itu, masalah itu dapat dipadamkan / diatasi dan cara atau metode untuk memadamkan penyebab masalah itu. Itulah uraian dari Vyagghapajja sutta yang ada hubungannya dengan kesuksesan dalam kehidupan duniawi yang berkenaan dengan tujuan hidup umat Buddha.
Sutta lain yang juga membahas tentang kesuksesan dalam kehidupan duniawi ini, bisa kita lihat pula dalam Anguttara Nikaya II 65, di mana Sang Buddha menyatakan beberapa keinginan yang wajar
dari manusia biasa (yang hidup berumah tangga), yaitu:
1. Semoga saya menjadi kaya, dan kekayaan itu terkumpul dengan cara yang benar dan pantas.
2. Semoga saya beserta keluarga dan kawan-kawan, dapat mencapai kedudukan social yang tinggi.
3. Semoga saya selalu berhati-hati di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat berusia panjang.
4. Apabila kehidupan dalam dunia ini telah berakhir, semoga saya dapat terlahirkan kembali di alam kebahagiaan (surga).
Keempat keinginan wajar ini, merupakan tujuan hidup manusia yang masih diliputi oleh kehidupan duniawi; dan bagaimana caranya agar keinginan-keinginan ini dapat dicapai, penjelasannya adalah sama dengan uraian yang dijelaskan di dalam Vyagghapajja sutta tadi.
Jadi, jelaslah sekarang bahwa Sang Buddha di dalam ajaran Beliau, sama sekali tidak menentang terhadap kemajuan atau kesuksesan dalam kehidupan duniawi.
Dari semua uraian di atas tadi, bisa kita ketahui bahwa Sang Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang, Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar, kalau hal tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata, dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual;
Sebab seperti yang dijelaskan tadi, yaitu bahwa tujuan hidup umat Buddha, bukan hanya mencapai kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi (kebahagiaan yang masih berkondisi saja), tetapi juga bisa merealisasi kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terbebas total dari dukkha, terealisasinya Nibbana.
Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbana.


IV.Cara Berpikir Buddhis dalam Menghadapi Masalah Hidup
Dalam pengertian Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha sejak hampir 3000 tahun yang lalu, segala kejadian yang dialami maupun dihadapi oleh seseorang sebenarnya adalah NETRAL sifatnya. Oleh karena itu, segala bentuk permasalahan hidup yang dirasakan oleh setiap orang sesungguhnya hanya timbul karena pikiran orang itu sendiri yang tidak tepat dalam menyikapi kenyataan yang dihadapinya. Segala kenyataan hidup adalah netral, tidak memberikan kebahagiaan maupun menyebabkan penderitaan untuk seseorang.
Ketika seseorang mampu berpikir positif dalam menghadapi suatu kenyataan atau peristiwa, ia akan merasakan kebahagiaan terhadap apapun kenyataan yang sedang ia alami. Sebaliknya, ketika seseorang berpikir negatif, ia akan merasakan penderitaan pada saat menghadapi suatu kenyataan. Dengan demikian telah jelas bahwa suatu kejadian yang dirasa membahagiakan seseorang mungkin saja menjadi sesuatu keadaan yang menyedihkan bagi orang lain. Semua perbedaan tersebut timbul karena sudut pandang yang tidak sama dalam menghadapi serta menyikapi suatu kenyataan hidup yang sebenarnya netral tersebut.
Terdapat sangat banyak contoh untuk menjelaskan perbedaan kebahagiaan maupun penderitaan yang timbul pada diri seseorang akibat sudut pandang yang tidak sama. Namun, agar lebih mudah dimengerti, dalam kesempatan ini hanya diberikan satu contoh saja. Contoh yang paling jelas dan sederhana misalnya tentang uang senilai Rp. 100.000,- Uang seratus ribu, untuk seseorang, katakanlah bernama A yang mempunyai banyak keinginan tentunya tidak bisa mencukupi untuk memenuhi harapannya. Sebaliknya, untuk seseorang, katakanlah bernama B yang mempunyai lebih sedikit keinginan, maka uang tersebut sudah terasa berlebihan. Dalam hal ini, permasalahan hidup atas kepemilikan uang senilai seratus ribu seolah hanya dialami oleh A dan tidak oleh B. Oleh karena itu, pembahasan penyelesaikan masalah yang akan disampaikan berikut ini nantinya hanya melibatkan A, bukan B.
Merenungkan kondisi yang disampaikan dalam contoh di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa seseorang, dalam hal ini A, merasa memiliki masalah hidup karena sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan mengubah kenyataan yang telah terjadi dan bersifat netral tersebut, dalam hal ini, nilai uang seratus ribu. Salah satu cara yang diberikan dalam Dhamma Ajaran Sang Buddha adalah upaya mengubah cara berpikir seseorang agar ia selalu berpikir positif dalam menghadapi segala sesuatu sehingga ia akan selalu berbahagia pada kondisi apapun yang ia alami. Dengan demikian, ia akan dapat mengambil tindakan yang tepat dan sesuai untuk menghadapi kenyataan tersebut. Semakin seseorang mampu menyesuaikan keinginan dengan kenyataan, semakin bahagia pula hidup yang ia rasakan.
Agar seseorang mampu berlatih mengubah pola pikir sehingga ia memiliki ketrampilan menyesuaikan diri antara harapan yang ada dengan kenyataan yang terjadi sehingga terwujudlah kebahagiaan, maka ia hendaknya :
Berusaha melatih kerelaan
Kerelaan (dana) adalah salah satu dari tiga pilar pokok Ajaran Sang Buddha di samping kemoralan (sila) dan konsentrasi (samadhi).
Pada tahap awal, kerelaan dilatih dengan menggunakan materi sebagai sarana. Misalnya, apabila ia memiliki makanan, ia dapat membagikan makanan tersebut kepada mereka yang membutuhkannya. Demikian pula apabila ia memiliki pakaian, sarana kesehatan dsb. Latihan kerelaan atau memberi kepada yang membutuhkan tersebut diharapkan menimbulkan kondisi batin untuk selalu mengharapkan fihak lain mendapat serta merasakan kebahagiaan.
Selama melaksanakan latihan kerelaan dengan materi, seseorang hendaknya juga melaksanakan latihan kerelaan dengan hal-hal yang bukan materi. Sebagian kecil contoh kerelaan akan hal yang bukan materi misalnya, perhatian, kasih sayang, nasehat, pemikiran positif dsb. Dengan melaksanakan latihan kerelaan akan hal yang bukan materi, seseorang semakin banyak dilatih untuk memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan fihak lain selain dirinya sendiri.
Dengan memikirkan kesejahteraan serta kebahagiaan fihak lain, maka seseorang mulai belajar merelakan keakuan atau kebutuhan memuaskan diri. Oleh karena itu, apabila keinginan yang juga merupakan hasil keakuan tidak terpuaskan, maka ia akan lebih mudah menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ia telah terbiasa rela. Ia lebih mudah menerima kenyataan sebagaimana adanya. Bila tahap ini tercapai, maka kebahagiaan akan selalu dapat dirasakan terlepas dari kenyataan apapun juga yang sedang ia hadapi maupun temui dalam kehidupannya.
Dalam mengembangkan proses berlatih kerelaan yang merupakan salah satu cara berpikir Buddhis untuk menghadapi masalah hidup, maka berikut ini akan disampaikan tiga hal yang perlu dilakukan sehingga kebahagiaan dapat terwujud.
1. Rela mengurangi keinginan
Ketika harapan ataupun keinginan tidak bisa menjadi kenyataan, maka seseorang hendaknya mulai meninjau dan mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan yang ia miliki selama ini. Ia hendaknya lebih mendahulukan kebutuhan daripada keinginan. Apabila kebutuhan sudah terpenuhi, barulah keinginan disusun berdasarkan tingkat kepentingannya untuk mendapatkan pemenuhan. Dengan mampu membedakan kebutuhan dan keinginan, tentu sudah cukup banyak masalah kehidupan yang dapat diselesaikan.
Sebagai contoh, A dengan uang senilai seratus ribu, mungkin hanya bisa memenuhi empat kebutuhan pokoknya terlebih dahulu, yaitu makanan, tempat tinggal, pakaian serta sarana kesehatan. Setelah semua atau sebagian dari kebutuhan pokok ini dapat terpenuhi, barulah ia memikirkan untuk memenuhi keinginannya, misalnya membeli handphone, memiliki sepeda motor dsb. Bila memang belum ada kesempatan untuk memenuhi keinginan, maka biarlah ia menunda terlebih dahulu keinginan yang ada dalam pikirannya. Inilah kerelaan mengurangi keinginan yang dapat mengurangi masalah hidup serta menumbuhkan kebahagiaan dengan apapun kenyataan yang dihadapi.
2. Rela meningkatkan kualitas kerja
Memiliki uang senilai seratus ribu mungkin saja dirasa tidak cukup, namun itulah kenyataannya. Karena itu, dengan meningkatkan kualitas kerja atau lebih giat bekerja, mungkin saja dalam beberapa waktu kemudian nilai uang tersebut dapat bertambah dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok serta sebagian keinginan yang dimiliki.
3. Rela menggunakan lebih banyak waktu untuk mencapai tujuan
Bila A merasa uang senilai seratus ribu itu tidak bisa memenuhi kebutuhan apalagi keinginannya, maka ia hendaknya belajar bersahabat dengan waktu sehingga seiring dengan bertambahnya waktu dan kerja keras yang dilakukan, uang yang diperoleh menjadi lebih banyak, pada akhirnya kebutuhan maupun sebagian keinginannya dapat terpenuhi.
4. Gabungan dari ketiga bentuk kerelaan di atas
Dengan menggabungkan ketiga bentuk kerelaan yaitu rela mengurangi keinginan, rela meningkatkan kualitas kerja dan rela bersabar, maka tentu lebih banyak lagi masalah hidup yang dapat terselesaikan sehingga kebahagiaan yang dimiliki lebih mudah dicapai.
V.KEHIDUPAN TIDAK PASTI, NAMUN KEMATIAN ITU PASTI

Sang Buddha bersabda: “Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti”. Setelah menyadari dengan jelas bahwa kematian pasti akan datang dan merupakan suatu akhir yang wajar, serta harus dihadapi setiap makhluk maka sebenarnya kita tidak perlu takut akan kematian. Namun, kenyataannya masih banyak diantara kita yang merasa takut menghadapinya. Karena itu kita tidak ingin mengingat-ingat bahwa kematian itu tak terelakkan dan kita ingin terus melekat pada kehidupan tercinta ini.

Lahirnya seorang anak ke dunia membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi seluruh sanak keluarganya. Bahkan, sang ibu merasa sangat puas dan bahagia walau ia harus menanggung penderitaan yang hebat pada saat melahirkan. Ia merasa semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya cukup berharga untuk itu. Namun, sang anak pada waktu kelahirannya di dunia ini juga menunjukkan penderitaan yang turut ditanggungnya dengan menangis.

Kemudian sang anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Ia melakukan berbagai perbuatan baik dan buruk. Dari dewasa kemudian menjadi tua dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini dengan meninggalkan sanak keluarga dalam kesedihan yang dalam. Demikianlah alur kehidupan seorang manusia yang senantiasa berusaha membebaskan diri dari perangkap kematian ini, namun tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Dengan pikiran yang berputar-putar di sekitar tabungan kekayaan yang telah dikumpulkannya dan terus-menerus mengkhawatirkan anak-anak tersayang yang berkumpul mengelilinginya, serta tidak ketinggalan pula selalu menjaga dan memperhatikan kesehatan tubuhnya.

Akan tetapi walaupun telah dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian, tetap akan kian lapuk dan melemah, yang akhirnya menimbulkan suatu kesedihan harus berpisah dengan tubuhnya tercinta. Hal demikian memang sukar diterima oleh kita, namun tak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dan cara yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang dalam meninggalkan dunia ini adalah dengan keluh kesah dan ratap tangis. Kematian yang datang tiba-tiba telah dipandang sangat menakutkan, dan sikap ini timbul karena ketidak-tahuan mereka.

VI.RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN

Manusia merasa terganggu bukan hanya diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar, tetapi juga oleh sebab-sebab dari dalam, seperti misalnya pandangan mereka terhadap kematian. Hal ini sebenarnya tidak perlu ditakutkan, karena rasa takut dan ngeri hanya muncul di dalam pikiran kita. Keharusan untuk menerima kenyataan akan penderitaan sering menyakitkan, terutama bagi pikiran yang tidak mampu menghadapinya. Namun, hal ini dapat membantu mengurangi atau menghilangkan perasaan takut dalam menghadapi kematian. Sekali kehidupan dimulai, akan terus berlangsung seperti peluru yang meluncur menuju ke sasarannya, yaitu kematian.
Setelah menyadari hal ini, kita harus berani berhadapan muka dengan kefanaan kita sendiri, dan apabila kita ingin dipandang sebagai manusia yang bebas dalam kehidupan, maka kita harus bebas dari rasa takut terhadap kematian. Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mengajarkan tentang proses kematian, yakni bahwa kematian hanya merupakan suatu proses pelapukan fisik dari tubuh manusia. Karena itu kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan bayang-bayang atau khayalan-khayalan menyeramkan yang tak pernah terwujud. Seorang dokter termasyur, Sir Williams Oslet mengatakan: “Menurut pengalaman saya yang cukup lama di bidang kedokteran, sebenarnya banyak orang yang meninggal tanpa rasa sakit atau takut.”

Seorang perawat berpengalaman menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Bagiku selalu tampak sebagai suatu tragedi besar bahwa demikian banyak orang yang sepanjang hidup mereka dihantui ketakutan akan kematian, namun ketika saatnya tiba mereka akan menyadari bahwa kematian sama wajarnya seperti kehidupan itu sendiri dan hanya sedikit orang yang merasa takut pada saat menjelang kematiannya. Sepanjang pengalaman saya, hanya satu orang yang kelihatannya merasa ngeri, yakni seorang wanita yang telah berbuat salah terhadap saudara perempuannya, dan kesalahan itu sudah terlambat untuk diperbaiki kembali. Sesuatu yang indah dan mengherankan terjadi pada mereka yang telah tiba di penghujung jalan kehidupan mereka; semua rasa takut dan kengerian hilang lenyap. Saya seringkali mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka pada saat-saat terakhir kehidupan mereka.

Kemelekatan terhadap kehidupan di dunia telah menciptakan rasa takut yang tidak wajar atas kematian, juga dapat menciptakan orang-orang Hypochordriac, yakni orang yang tidak pernah berani mengambil resiko, bahkan untuk sesuatu yang benar sekalipun. Orang-orang seperti itu hidup dalam ketakutan bahwa sesuatu penyakit atau kecelakaan dapat memutuskan hidup mereka yang begitu berharga dan sangat dicintainya. Dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan, maka orang-orang yang mencintai hidup di dunia ini akan pergi berdoa untuk menyatakan harapan mereka, agar jiwa mereka diterima di surga. Namun, tak seorangpun dapat berbahagia dengan godaan rasa takut dan harapan seperti itu. Akan tetapi nampaknya sukar bagi kita untuk mencela atau tidak mau tahu atas segala perwujudan naluriah untuk keselamatan diri mereka tersebut.

Hanya ada satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan cara melupakan kepentingan pribadi dan berusaha menolong orang lain disertai pancaran kasih sayang dari dalam diri kita, yaitu dengan mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan mencurahkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Karena melalui peningkatan pelayanan terhadap orang lain, maka anda akan segera menyadari sendiri bahwa segala harapan dan kemelekatan yang mementingkan diri sendiri, kesombongan dan anggapan hanya diri sendiri benar adalah tidak bermanfaat sama sekali.

VII.PENYAKIT DAN KEMATIAN

Diserang penyakit ataupun kematian merupakan gejala-gejala yang wajar dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita dan semua itu harus diterima dengan keseimbangan batin. Menurut teori Ilmu Jiwa Modern, tekanan mental yang berat dan hebat disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi dan menerima kenyataan-kenyataan hidup. Tekanan-tekanan tersebut bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan penyakit fisik yang hebat, dan apabila kita membiarkan perasaan cemas dan sedih yang tidak pada tempatnya dalam menghadapi suatu masalah, malah akan dapat
memperburuk keadaan.

Kematian tidak seharusnya ditakuti oleh mereka yang bersih dalam pikiran dan perbuatan. Kita hanya merupakan bagian kehidupan dari alam semesta, oleh karena itu pada hakekatnya tidak ada suatu pribadi individu yang meninggal dunia. Sisa-sisa karma sebagai hasil buruk yang muncul dari perbuatan jahat di masa lampau dapat mengikuti kita pada kelahiran kita yang berikutnya, dan menyebabkan kita harus memikul penderitaan akibat karma pada kehidupan yang lalu.

Kejadian semacam itu dapat dihindari jika kita selalu berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebaikan, dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan banyak melakukan perbuatan baik di mana saja dan setiap saat bila memungkinkan. Dengan melakukan hal itu kita dapat menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan penuh keyakinan. Kita harus berani menghadapi dan menerima kenyataan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa tidak ada “Juru Selamat” yang dapat diserahkan untuk memikul beban kita agar terbebas dari akibat perbuatan jahat yang pernah kita lakukan.

Kita harus kerapkali mengingatkan diri sendiri akan nasihat Sang Buddha: “Jadikanlah dirimu sebagai pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri dengan bekerja dan berusaha yang giat”. Umat Buddha tidak seharusnya tenggelam ke dalam ratap tangis dan kesedihan yang hebat dalam menghadapi kematian dari sanak saudara ataupun teman-teman mereka, karena roda kehidupan terus berputar tanpa hentinya. Bila seseorang meninggal dan hasil perbuatannya (karma) menjadikannya suatu makhluk baru, mereka yang ditinggalkan harus menerima kematian tersebut dengan ketenangan, keluhuran budi dan pengertian bahwa kematian hanya merupakan suatu proses yang tak terhindarkan di dunia ini.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di alam semesta, dan kita tahu bahwa hutan bisa menjadi kota dan kota dapat menjadi padang pasir, serta gunung dapat berubah menjadi danau.

Ketidak pastian terdapat di mana-mana, namun hanya ada satu hal yang pasti, yakni “kematian” dan semua hal lain hanyalah bersifat sementara. Kita semua mempunyai nenek moyang dan nenek moyang kita pun mempunyai nenek moyang juga, namun di mana mereka kini berada? Mereka telah pergi ke “Gerbang Kematian”.

Janganlah menganggap bahwa pandangan pesimis terhadap kehidupan yang dimunculkan di sini merupakan pandangan yang paling sesuai dengan kenyataan dari semua kenyataan. Untuk apa kita menghindari diri dari kenyataan dan menutup mata kita terhadap suatu kenyataan yang sudah pasti, karena bukankah kematian itu mencakup segala hal? Maka janganlah kita sampai melupakannya. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi ataupun Ilmu Kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama, apakah di dalam kubur ataupun menjadi segenggam debu. Haruskah karena hal itu kita kemudian mengenakan kain karung dan meratapi kehidupan yang telah menjadi debu? Tidak! Hal demikian bukanlah merupakan tujuan hidup, bukan pula tujuan dari kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.

VIII.EKSISTENSI PENGARUH MANUSIA

Sang Buddha berkata: “Tubuh manusia dapat berubah menjadi debu, namun pengaruhnya tetap bertahan”. Pengaruh kehidupan yang telah berlalu kadang-kadang dapat menjangkau waktu yang lebih jauh dan lebih potensial bila dibandingkan dengan masa hidup seseorang yang mempunyai batas-batas waktu tertentu. Seringkali kita bertindak berdasarkan ilham dari kepribadian-kepribadian yang pemiliknya telah menjadi debu. Dalam tindak-tanduk kita hasil-hasil pikiran mereka juga memainkan peranan penting. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dapat dikatakan merupakan susunan dari semua nenek moyang yang telah mendahului kita. Dengan anggapan semacam ini, maka para pahlawan di masa lampau, para filsuf terkemuka, para pertapa, penyair dan para seniman musik dari keturunan apapun, karya mereka tetap ada bersama kita.

Bila kita menghubung-hubungkan diri sendiri dengan orang-orang suci dan para pemikir di masa lampau kita dapat memperoleh kebijaksanaan hasil pemikiran mereka, ide-ide mulia mereka dan bahkan musik klasik yang abadi. Karena walaupun tubuh mereka sudah lama musnah, namun pengaruh mereka masih tetap hidup hingga kini. “Tubuh” ini bukan merupakan apa-apa selain perwujudan abstrak dari kombinasi unsur-unsur kimia yang terus-menerus berubah. Maka insan manusia yang menyadari bahwa hidup mereka hanya seperti setetes air di sungai yang terus mengalir, akan merasa bahagia bila dapat memberi andil bagi arus besar yang disebut kehidupan.

Insan manusia yang lupa akan kewajaran hidup mereka akan terhempas di dunia ini. Ia meratap, bersedih dan kadang-kadang tersenyum hanyalah untuk menangis kembali. Namun bila ia menyadari akan kewajaran hidup yang sesungguhnya, maka ia akan melepaskan semua benda-benda yang bersifat sementara untuk mencari keabadian, ia harus menghadapi kematian yang berulang-ulang, karena kematian itu sendiri sukar untuk dihindari. Tidakkah manusia harus berusaha untuk mengatasi putaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus ini?

Menurut agama Buddha, kehidupan kita bukanlah kehidupan pertama atau terakhir yang harus kita jalani di dunia ini. Jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan hidup yang lebih baik pada kehidupan mendatang. Di samping itu, bila kita tidak ingin terlahir kembali, maka harus berjuang mencapai kebebasan akhir dengan selalu berusaha mengikis semua kekotoran batin yang ada pada pikiran kita.



XI.FILSAFAT AGAMA BUDDHA

Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut:

“Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan”.
Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.

PENYEBAB KESEDIHAN
Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: “Kematian akan menyeret manusia yang melekat pada anak-anak dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur”.

Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu tidak tertidur namun terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.

X.KEMATIAN BERLAKU BAGI SELURUH ALAM SEMESTA

Marilah kita melihat bagaimana Sang Buddha menyelesaikan masalah kematian yang menimpa diri dua orang, yang karena kemelekatan mereka telah menderita kesedihan hebat akibat adanya kematian. Pertama adalah kisagotami yang putra tunggalnya meninggal dunia setelah digigit seekor ular. Ia pergi menemui Sang Buddha sambil menggendong mayat putranya untuk memohon pertolongan agar menghidupkannya kembali. Sang Buddha memintanya membawa segenggam biji lada dari satu keluarga yang tidak pernah mengalami kematian, namun ia tidak dapat menemukan keluarga seperti itu. Setiap rumah yang didatangi sedang berkabung atau pernah berkabung atas kematian orang tua ataupun sanak saudara mereka. Akhirnya ia dapat menyadari kenyataan hidup yang pahit ini. Kematian berlaku dimana-mana. Kematian akan menyerang semua makhluk dan tak satupun yang dapat terlolos darinya. Karena itu kesedihan merupakan warisan bagi semua orang.

Orang kedua yang mendapat pertolongan dan bimbingan Sang Buddha adalah Patacara. Hal yang dialaminya jauh lebih menyedihkan, yakni dalam waktu yang singkat ia telah kehilangan kedua putranya, suami, saudara, orang tua, dan seluruh harta bendanya, bahkan kehilangan akalnya. Ia berlari-lari dengan bertelanjang dan liar di jalan-jalan hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha. Sang Buddha telah membuatnya waras kembali dengan menjelaskan bahwa kematian harus dapat kita terima sebagai suatu gejala yang wajar bagi setiap makhluk hidup.

Sang Buddha berkata: “Engkau telah menderita dari keadaan yang serupa bukan hanya sekali, Patacara. Namun telah berulang kali selama kelahiran-kelahiran terdahulu. Untuk waktu yang lama sekali engkau telah menderita akibat kematian ayah dan ibu, anak dan sanak kerabat. Selama engkau menderita telah meneteskan air mata lebih banyak dibandingkan dengan air yang ada di samudra”.
Pada akhir pembicaraan tersebut, Patacara menyadari akan ketidak-pastian dari kehidupan ini.

Baik Patacara maupun Kisagotami dapat memahami penderitaan dari pengalaman tragis mereka sendiri. Dengan menyadari sungguh-sungguh akan Kesunyataan Mulia yang pertama yakni “Penderitaan”, maka ketiga Kesunyataan Mulia lainnya juga akan dapat dipahami. Sang Buddha bersabda: “Barang siapa yang mengerti akan penderitaan, juga akan mengerti munculnya penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan”.


XI.LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN

Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Buddha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan kita.

Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian kita tidak akan menyalahartikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam keadaan terbentuk.

Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kilatan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ibu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita katakan sebagai “Terus berlangsungnya kehidupan”.

Namun dengan berjalannya waktu, maka kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan menurut istilah yang biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai “Terjadinya kematian”.


XII.KELAHIRAN KEMBALI

Namun, keempat kelompok mental, yaitu: kesadaran dan ketiga kelompok mental lainnya yang membentuk “NAMA” atau “KESATUAN KESADARAN” akan terus berlangsung tanpa berhenti. Muncul dan lenyap seperti semula, walaupun tidak pada tempat yang sama, karena tempat terdahulu telah tiada. Kelompok-kelompok mental ini harus segera menemukan suatu landasan fisik yang baru seperti saat sebelumnya agar ia dapat berfungsi dengan serasi. Hukum karmalah yang melakukan kesemua ini, yakni dengan segera menempatkan kembali kelompokkelompok tersebut, yang kita kenal sebagai “KELAHIRAN KEMBALI”.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sesuai dengan Ajaran Agama Buddha, tidak dikenal adanya perpindahan jiwa suatu inti dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Menurut filsafat agama Buddha, apa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa “JAVANA” atau “PROSES BERPIKIR AKTIF YANG TERAKHIR” dari orang yang meninggal dunia telah melepaskan kekuatan-kekuatan tertentu, yang bervariasi sesuai dengan kesucian dari kelima saat berpikir Javana dalam serial tersebut (Lima, bukannya tujuh saat berpikir Javana seperti pada keadaan normal). Kekuatan-kekuatan ini disebut “KAMMA VEGA” atau “TENAGA KARMA” yang mendekatkan diri pada suatu landasan materi yang dihasilkan oleh sepasang orang tua dalam rahim seorang ibu. Kelompok materi dalam gabungan benih ini harus memiliki sifat yang sesuai untuk menerima jenis tertentu dari tenaga karma tersebut.

Pendekatan diri dengan cara ini dari berbagai jenis kelompok jasmani yang dihasilkan oleh sepasang orang tua, terjadi melalui bekerjanya kematian yang memberikan suatu peluang bagi kelahiran kembali yang menguntungkan pada seseorang yang meninggal dunia. Namun pikiran yang tidak baik akan menghasilkan suatu kelahiran kembali yang tidak menyenangkan.


XIII.KUMPULAN UNSUR DAN TENAGA

Secara singkat dapat kita katakan bahwa kombinasi dari kelima kelompok disebut “kelahiran”. Munculnya kelompok-kelompok tersebut dalam suatu kumpulan disebut “kehidupan”, sedangkan lenyapnya kelompok-kelompok tersebut disebut “kematian”, dan penggabungan kembali kelompok-kelompok ini disebut “kelahiran kembali”. Namun tidaklah mudah bagi seorang manusia biasa untuk mengerti bagaimana kelompok-kelompok tersebut bergabung kembali.

Dalam hal ini pengertian yang benar akan sifat tenaga-tenaga karma, mental dan unsur-unsur, serta kerja sama tenaga-tenaga alam semesta adalah sangat penting kita ketahui. Bagi sementara orang kejadian yang sederhana dan wajar ini, yakni kematian hanya berarti meleburnya kelima unsur dengan kelima unsur yang sama, sehingga menurut mereka tidak ada yang tersisa.

Sementara itu ada pula kelompok orang yang berpendapat bahwa kematian adalah berpindahnya jiwa dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Ada juga kelompok yang menganggap kematian itu merupakan masa transisi yang tak terbatas dari jiwa, atau dengan kata lain kematian adalah menunggu hari pengadilan (akhir). Bagi umat Buddha, kematian hanya merupakan akhir sementara dari gejala yang bersifat sementara, dan kematian bukan merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.


XIV.SEBAB-SEBAB TERJADINYA KEMATIAN

Menurut agama Buddha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
(i) Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu. Kematian semacam ini disebut “AYU-KHAYA”.
(ii) Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebut“KAMMA-KHAYA”.
(iii) Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas, yang terjadi secara berturut-turut. Disebut “UBHAYAKKHAYA”.
(iv) Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-kejadian yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (iii) di atas. Disebut“UPACHEDAKKA”.

Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam kematian ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan sebagai kehidupan. Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut ini:

(i) Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya masa hidup suatu makhluk.
(ii) Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga karma.
(iii) Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan, sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada butir (i) dan (ii) di atas.
(iv) Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya seperti kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.

XV.CARA MENGHADAPI KENYATAAN

Bagaimana cara terbaik bagi seseorang dalam menghadapi peristiwa kematian yang tak terelakkan ini? Terlebih dahulu kita harus menyadari dan merenungkan bahwa kematian akan dan pasti tiba dalam waktu yang cepat atau lambat. Akan tetapi hal ini bukanlah berarti umat Buddha harus memandang kehidupan dengan suram, karena kematian merupakan kenyataan dan harus dihadapi oleh setiap makhluk. Buddha-Dhamma adalah suatu agama atau Ajaran yang dapat diterima oleh akal pikiran dan umat Buddha dilatih untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Guru Nanak berkata: “Dunia mencemaskan kematian, tetapi bagiku kematian itu membawa kebahagiaan”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang-orang besar dan mulia tidak takut akan kematian, dan mereka selalu siap menghadapinya. Banyak orang besar yang telah mengorbankan hidup mereka demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak.

Nama-nama mereka tercatat dalam sejarah dunia dengan tinta emas. Pemimpin besar Amerika, Saul Alinsky berkata: “Satu hal terpenting yang pernah saya pelajari adalah bahwa saya akan mengalami kematian, dan sekali anda dapat menerima kematianmu sendiri, maka seketika itu juga anda bebas untuk hidup. Anda tidak lagi peduli dan selama hidup dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai suatu tujuan yang anda yakini”. Hal ini merupakan cara pribadi-pribadi besar memandang konsep tentang kematian.


XVI.KEMATIAN TAK TERELAKKAN

Tampaknya agak bertentangan bahwa meskipun kita seringkali melihat kematian yang menghentikan kehidupan, namun kita jarang sekali berhenti untuk merenungkan bahwa kitapun dapat dengan segera menjadi korban maut. Karena keterikatan kita yang kuat terhadap kehidupan, maka merasa segan untuk membawa-bawa pikiran yang menakutkan tersebut. Walaupun
merupakan suatu kenyataan bahwa kematian adalah suatu kejadian yang pasti. Namun kita lebih suka menyingkirkan pikiran yang menakutkan ini sejauh mungkin, dan menipu diri sendiri dengan menganggap bahwa kematian hanya merupakan gejala yang jauh dan tidak perlu dirisaukan. Kita harus mempunyai cukup keberanian untuk menghadapi kenyataan tersebut dan harus siap menerima bahwa kematian merupakan kejadian yang nyata. Jika kita dapat menghargai peristiwa seperti itu dan melengkapi diri dengan kesadaran bahwa kematian merupakan suatu peristiwa tak terelakkan, yang harus diterima sebagai suatu kejadian biasa dan bukan merupakan suatu peristiwa yang menakutkan, maka kita akan mampu menghadapi, bilamana peristiwa itu tiba, dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri.


XVII.TUGAS DAN KEWAJIBAN KITA

Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri kita pada suatu saat, maka kita harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita pada generasi penerus. Kita tidak boleh berleha-leha dan menunda hingga besok hal-hal yang dapat kita kerjakan hari ini. Kita harus dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang bermanfaat. Tugas terhadap istri atau suami dan anak-anak harus dijalankan dalam waktu yang sama. Kita harus melaksanakan keinginan dan wasiat terakhir tanpa menunggu saat-saat yang terakhir, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian kesulitan dan masalah akibat dari kelalaian itu. Kematian dapat memanggil setiap saat dan tidak mengenal waktu, oleh sebab itu kita harus mampu menghadapi saat-saat terakhir dengan berani dan tenang.


XVIII.KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN

Dapatkah kematian diatasi? Jawabannya adalah dapat! Kematian terjadi karena adanya kelahiran. Hal ini merupakan dua mata rantai dalam lingkaran kehidupan yang dikenal dengan nama“Pattica Samuppada”, dan keseluruhannya ada dua belas mata rantai dalam lingkaran tersebut, yang beberapa di antaranya adalah Kilesa atau kekotoran batin. Beberapa karma atau perbuatan menimbulkan Vipaka atau Hasil (dalam lingkaran kehidupan ini) dan Vipaka ini terjadi berulang-ulang. Pengulangan dari kelahiran yang tak terhitung ini disebut Samsara. Jika kita ingin menghentikan lingkaran kehidupan ini hanyalah dengan cara memotongnya pada tahap kekotoran batin, yaitu: Avijja (kebodohan) dan Tanha (nafsu keinginan). Inilah akar-akar dalam lingkaran kelahiran yang harus dimusnahkan, karena itu jika kita dapat memotong nafsu keinginan dan kebodohan, maka kelahiran akan dapat diatasi dan sekaligus kematian juga dapat diatasi, sehingga Samsara teratasi dan tercapailah Nibbana


XIX.SEGALA SESUATU ADALAH TIDAK PASTI

Kita harus berusaha mengerti bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini adalah tidak pasti. Kehidupan hanyalah suatu khayalan dan bayangan. Bila kita mengadakan analisa terhadap segala sesuatu, baik secara ilmu pengetahuan ataupun secara filosofis, maka akhirnya kita tidak akan menemukan apa-apa, kecuali kekosongan.

Menurut Sang Buddha, ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan ketidak-mampuan untuk menguasai di dalam segala hal merupakan gejala yang wajar dalam alam semesta ini. Mereka yang telah memahami ketiga sifat ini akan terbebas dari ketakutan yang tidak perlu, ketegangan, kekecewaan dan kesedihan. Hanya dengan menyadari kebenaran universal inilah kita akan dapat mempertahankan kedamaian dan ketenangan di dalam diri kita.

XX.Reinkarnasi

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f3/Reincarnation_AS.jpg/200px-Reincarnation_AS.jpg
Sebuah seni yang menjelaskan reinkarnasi pada manusia.
Reinkarnasi (dari bahasa Latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula"[1]) atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.
Terdapat dua aliran utama yaitu pertama,mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua,mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha). Agama Hindu menganut aliran yang kedua.
Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran di kehidupan sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya.

XXI.Reinkarnasi dalam agama Buddha

Dalam agama Buddha dipercayai bahwa adanya suatu proses kelahiran kembali (Punabbhava). Semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus menerus mengalami tumimbal lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesucian Arahat. Alam kelahiran ditentukan oleh karma makhluk tersebut; bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya ia akan terlahir di alam yang menderitakan, sehingga segala sesuatu tergantung dari karma masing-masing.diketahui bahwa ada orang yang baik juga bisa lahir di dunia yang banyak oraang tampan

XXII.Reinkarnasi dalam Hinduisme

Dalam filsafat agama Hindu, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya (kualitas). Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia. Bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain.
Menurut Hinduisme, yang bisa berinkarnasi itu bukanlah hanya jiwa manusia saja. Semua jiwa mahluk hidup memiliki kesempatan untuk berinkarnasi dengan tujuan menikmati hasil perbuatannya di masa lalu dan memperbaiki kulaitas hidupnya. Dalam kehidupan di dunia, manusia menempati strata yang paling tinggi sehingga reinkarnasi yang tertinggi adalah hidup sebagai manusia, bahkan dewa atau malaikat yang ingin sempurna hidupnya, harus turun ke dunia untuk menyempurnakan jiwatman-nya sehingga mencapaimoksa, bersatu dengan Brahman. Makhluk hidup selain manusia memiliki jiwatman yang sama. Jiwatman memiliki memori untuk mencatat dan mengenang peristiwa yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan sewaktu masih bersatu dengan raga. Memori tersebut menghasilkan kemelekatan terdadap dunia yang terus dibawa walaupun terjadi kematian yang menyebabkan jiwatman berpisah dengan badan. Suatu saat jiwatman tersebut akan mencari raga baru yang sesuai dengan kemelekatannya pada konsepsi (janin) yang siap dimasuki roh (atman). Bila manusia mampu meniadakan kemelekatannya terhadap kehidupan dunia, maka ia akan mencapai moksa dan bersatu denganBrahman.

XXIII.Proses reinkarnasi

Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke surga atau ke neraka.
Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.

XXIV. Nilai Kehidupan Dalam Buddhist

Sekitar 700 tahun yang lalu di Jepang, seorang Maha Bodhisattva, Nichiren Shonin, seorang reformis Buddhisme menuliskan sebuah surat untuk murid-muridnya, sebagai berikut :
“Kita harus menghargai semua kehidupan mulai dari yang paling bijaksana sampai yang paling rendah, serta juga kepada binatang seperti nyamuk atau mahluk lainnya. Oleh karena itu, perbuatan apa pun yang tidak menghargai kehidupan adalah sebuah kejahatan terbesar. Ketika Sang Tathagata muncul didunia saha ini, Ia menunjukkan welas asih yang besar terhadap semua kehidupan dengan membabarkan ajaranNya. Untuk menunjukkan rasa welas asihnya, Ia tidak melakukan pembunuhan untuk makanan dan minumanNya dan ini merupakan wujud ajaran pertamanya . ” ( Myomitsu Shonin Goshosoku, 1276)
Nichiren Shonin menjadikan pemahaman dan nilai-nilai ini sebagai wujud penghargaan bagi sebuah kehidupan yang mengacu pada apa yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Nilai-nilai kemanusiaan dalam Buddhisme dicerminkan dalam Pancasila Buddhis yakni; Tidak Membunuh, Tidak Mencuri, Tidak Berzinah, Tidak Berbohong, Tidak Meminum Minuman Keras. Jika kita mampu menempatkan nilai-nilai ini dalam hati, pikiran dan badan kita, maka segala kekerasan, kebencian dan pertengkaran akan terhindarkan. Saddharma Pundarika Sutra juga mengajarkan tentang "Way Of Life" melalui berbagai pembabaran dan contoh perumpamaan yang diajarkan, seperti :
  1. Sikap Menghargai dan Penghormatan terhadap semua orang, BAB. II, Upaya Kausalya, dan BAB XX, Bodhisattva Sadaparibhuta;
  2. Sikap Welas Asih terhadap semua mahluk hidup, BAB.XXV, Bodhisattva Avalokitesvara;
  3. Sikap Tidak membenci, Penghargaan dan Kesetaraan manusia, BAB.XII, Devadatta;
  4. Sikap Kejujuran dan Ketulusan, BAB.XXVIII, Bodhisattva Samantabadra;
  5. Sikap kebijaksanaan, pengertian dan keterbukaan, BAB XXVII dan BAB.XXIII, Bodhisattva Baisajaraga
Oleh karena itu tidaklah mustahil bagi mereka yang percaya dan menjalankan dengan sungguh-sungguh ajaran Sang Buddha akan menjadi seorang yang menghargai sebuah kehidupan dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, menjadi manusia yang penuh keluhuran budi pekerti dan prilaku. Inilah yang dikatakan “Hukumnya Agung, Manusianya Luhur.” Sikap Penghargaan terhadap nilai kehidupan diberikan pada semua hal, baik manusia, binatang, tumbuhan, mahluk lain yang kelihatan maupun tidak kelihatan, dan lingkungan alam. Dalam Dhammapada, Buddha Sakyamuni Buddha menyarankan kepada para pengikutnya untuk menempatkan penghargaan terbesar bagi kehidupan semua mahluk hidup dan mengingatkan untuk menahan diri dari melakukan kekerasan terhadap mahluk apapun juga.
“Semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian, sama halnya seperti kamu. Oleh karena itu janganlah membunuh atau menyebabkan pembunuhan. Semua orang takut akan hukuman, semua orang mencintai kehidupan, sama halnya
seperti kamu. Oleh karena itu janganlah membunuh atau menyebabkan pembunuhan.” (Dhammapada 129-130)
Nichiren Shonin hidup dalam sebuah masyarakat yang sering terlibat dalam peperangan, pembunuhan dan segala bentuk kekejaman. Ia mendasarkan diri pada Saddharma Pundarika Sutra, dan mengajarkan bahwa sudah sepantasnya semua mahluk hidup saling hormat menghormati. Karenanya meskipun Beliau mengalami beberapa kali tindakan kekerasan, Ia tidak membalas dengan kekerasan pula, bahkan Ia berusaha memberikan kesadaran bagi mereka yang melakukan kekerasan kepadaNya.
Ini karena semua mahluk mempunyai potensi untuk mencapai “KeBuddhaan” atau “Yang Tersadarkan.” Orang “Yang Tersadarkan” adalah seseorang yang penuh dengan keindahan, welas asih, dan kebijaksanaan yang menyinari seluruh alam semesta, mereka bagaikan permata harapan yang tak ternilai atau seperti indahnya bunga teratai. Maka itu jauhkanlah segala kekerasan disekelilingnya atau yang diarahkan kepadanya, Nichiren Shonin menegaskan tentang nilai kehidupan dengan menyatakan:
“…..dalam kehidupan ini, hidup itu adalah harta yang paling bernilai dari semua harta. Bahkan semua harta yang ada dialam semesta ini tidak dapat dibandingkan dengan nilai kehidupan itu.”(Jiri Kuyo Gosho, 1275)
Dalam Buddhisme terdapat Empat Janji Agung Bodhisattva yang menjadi Jalan Pelaksanaan untuk mencapai KeBuddhaan yakni :
1. Kesadaran Diri adalah tak terhingga, kami berjanji untuk menyelamatkan seluruh mahluk hidup. Mahluk hidup mencakupi semua aspek kehidupan; manusia, bukan manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, air, udara dan alam sekitarnya. Kita harus menghargai segala bentuk kehidupan dengan turut melestarikannya, menjaga lingkungan, menciptkan lingkungan yang lebih baik.
2. Hawa Nafsu kami adalah tidak terbatas, kami berjanji untuk mengalahkan mereke semua. Hawa nafsu yang tidak terkontrol akan menyebabkan penderitaan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, karena itu kita harus berusaha menjadi “Tuan” dari hawa nafsu bukan “Budak” dari hawa nafsu kita.
3. Ajaran Sang Buddha adalah tidak terjangkau, kami berjanji untuk mempelajari semuanya. Sebagai murid Sang Buddha sudah seharusnya kita mempelajari semua ajaranNya dengan baik dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
4. Jalan KeBuddhaan adalah tidak ada bandingannya, kami berjanji untuk mencapai Jalan Kesadaran. Manusia yang telah mencapai Kesadaran, akan menjadi permata bagi lingkungan sekitarnya, sehingga segala kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan akan tercapai.

XXV.Akhir proses reinkarnasi

Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan (Moksha ).


1 komentar:

  1. mantap infonya, sangat membantu untuk tugas agama. terima kasih

    BalasHapus